Rabu, 17 September 2008

Pertambangan Batubara: Pro dan Kontra

Indonesia adalah eksportir batubara terbesar kedua di dunia (setelah Australia, 2006). Batubara yang banyak diekspor adalah batubara jenis sub-bituminus yang dapat merepresentasikan produksi batubara Indonesia. Produksi batubara Indonesia meningkat sebesar 11.1% pada tahun 2003 dan jumlah ekspor meningkat sebesar 18.3% di tahun yang sama. Sebagian besar cadangan batubara Indonesia terdapat di Sumatra bagian selatan. Kualitasnya beragam antara batubara kualitas rendah seperti lignit (59%) dan sub-bituminus (27%) serta batubara kualitas tinggi seperti bituminus dan antrasit (14%).

Sekitar 74% dari batubara Indonesia merupakan hasil penambangan perusahaan swasta. Satu-satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Tambang Bukit Asam, menghasilkan sekitar 10 Mt (hanya 9% dari total produksi batubara Indonesia pada tahun 2003) dari penambangan terbuka. Bandingkan dengan perusahaan-perusahaan swasta seperti PT Adaro, PT Kaltim Prima Coal, serta PT Arutmin yang dapat memproduksi batubara hingga di atas 10 Mt pada tahun yang sama. Terlihat ironis bukan? Perusahaan penambangan batubara milik negara kalah produksi oleh perusahaan swasta.

Operasi penambangan batubara seringkali dituduh menyebabkan kerusakan lingkungan. Penambangan batubara diperkirakan menyebabkan kerusakan pada kurang lebih 70 ribu hektar tanah. Pada beberapa area, limbah cair dibuang pada sungai terdekat yang pada akhirnya mencemari sumber air warga sekitar. Dampak lingkungan serta permintaan akan kontribusi perusahaan pertambangan yang lebih besar kepada perkembangan masyarakat telah menyebabkan munculnya permintaan akan ditutupnya operasi penambangan batubara. Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi pengrusakan lingkungan oleh operasi penambangan batubara adalah dengan lebih memperketat regulasi yang berkaitan dengan penambangan batubara, disinilah peran besar pemerintah. Pemerintah merespon permasalahan ini dengan memberikan komitmen bahwa operasi penambangan batubara akan merujuk pada peraturan pemerintah mengenai keselamatan lingkungan. Sebagai contoh, pada tahun 1999 diterbitkan PP no 18 yang mengatur mengenai tata cara pemrosesan limbah berbahaya dan beracun. Peraturan ini mengharuskan perusahaan pertambangan untuk memproses limbah yang dihasilkan hingga mencapai derajat kebersihan yang sangat tinggi dengan standar kemurnian air yang 5 kali lebih ketat dibandingkan Amerika Serikat maupun Kanada. Akan tetapi, penerapan regulasi ini pada akhirnya ditunda karena pemerintah mengevaluasi ulang kemampuan teknologi yang dimiliki oleh perusahaan pertambangan di Indonesia dan ternyata dibutuhkan penyesuaian. Belum lagi adanya penambangan batubara ilegal. Para penambang ilegal mengabaikan ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan dan keselamatan serta menjual batubara dengan harga yang lebih rendah. Pemerintah diharapkan dapat mengambil sikap dan menuntut para penambang ilegal ini.

Pemerintah sendiri memiliki ketertarikan yang besar dalam mengembangkan teknologi pemanfaatan batubara untuk mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh batubara. Usaha untuk mengembangkan Clean Coal Technology (CCT) telah memasukkan kerjasama dengan pihak asing untuk mempelajari efek-efek yang mungkin muncul dari penggunaan batubara dan untuk mencari cara baru agar pembangkit listrik yang berbasis pembakaran batubara dapat memenuhi ketentuan lingkungandari segi emisi. Ini suatu itikad baik yang ditunjukkan oleh pemerintah mengingat permasalahan yang menyangkut emisi yang dihasilkan oleh batubara dapat mengurangi visibilitas digunakannya batubara sebagai sumber energi.

Masalah sumber energi pun sedang menjadi fokus utama pemerintah berkaitan dengan naiknya harga minyak bumi. Pada dasarnya, cadangan batubara Indonesia memang jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan minyak bumi maupun gas alam sehingga pemerintah kini mulai melihat batubara sebagai sumber energi alternatif yang murah. Batubara selama ini telah digunakan sebagai bahan bakar pada pabrik semen dan pabrik baja, apa salahnya jika batubara digunakan untuk membangkitkan listrik? Apabila hal ini dapat dilakukan, subsidi pemerintah untuk BBM dapat berkurang (saat ini subsidi memang tidak mencukupi akibat kenaikan harga minyak bumi dan peningkatan konsumsi BBM). Dalam 3 tahun mendatang diharapkan telah berdiri PLTU Batubara dengan kapasitas daya listrik yang dapat dihasilkan sebesar 10000 MW.

Tampaknya untuk mewujudkan hal itu, pemerintah dan industri pertambangan batubara harus bekerja lebih keras. Dengan perkiraan heating value batubara Indonesia yang berada pada kisaran 5000 sampai 7000 kal/kg, berapa banyak batubara yang harus diproduksi untuk menghasilkan listrik 10000 MW? Apakah perusahaan pertambangan di Indonesia dapat menemukan cara untuk menambang batubara tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan?

Tampaknya jawaban pertanyaan di atas adalah TIDAK. Atau mungkin BELUM. Tanah yang dikeruk, polusi yang disebabkannya, serta bekas yang ditinggalkannya masih akan menjadi masalah lingkungan di kemudian hari. Mungkin saat ini yang bisa dilakukan adalah meningkatkan kinerja unit-unit penanganan limbah sekaligus melakukan transfer teknologi terkait dengan keterbatasan yang kita miliki dalam teknologi penambangan, mengurangi penambang-penambang ilegal, dan secara bertahap melakukan rehabilitasi lahan pertambangan yang telah ditinggalkan. MENGAPA? Karena lebih tidak mungkin menghentikan penambangan batubara yang saat ini diharapkan bisa menjadi penyelamat bagi krisis energi yang melanda Indonesia.

by Ratih Asthary

Selasa, 15 Januari 2008

CLASSIFICATION AND CHOICE OF MINING METHODS

  1. Programme of Study and Description of Mining Methods

To give a sufficiently full characterization of a mining methods actually employed or planned, one should study it and, if necessary, describe it in many of its aspects. The pertaining data and characteristics may be classified into the following groups.

I. Mining and Geological Conditions

Name of the mineral extracted. Shape of the deposit-bed, sheet like deposit, placer, vein, etc. Thickness of the deposit ( true and lateral ), prevalent thickness, maximal and minimal deviations. Angle of dip and its variations. Pitch or hade of the ore body. Area of the horizontal section of the deposit. Typical geological faults and disturbances in the attitude. Matter composition of the minerals. Distribution of useful components in the deposit. The nature of the contact between the deposit and the country rocks surrounding it. Hardness, jointing and firmness of the mineral. Its density ( volume or unit weight ). Size distribution and ability to compact. Petrographic characteristics of enclosing country rocks. Their hardness, jointing and stability. Abudance of water in the deposit. Properties of the mineral’s self-ignition. Oxidability of the ores subject to flotation. Evolution of noxious gases. Harmful properties of dust ( explosiveness of coal and sulphide dust, dangerous properties of quartz dust with respect to silicosis ).

II. Mining Characteristics of the Method To Be Adopted in Working a Deposit

Designation of the mining method. Level interval. Sublevel interval. Extent of the working section or block on strike. Size of pillars and support pillars. Slice thickness. Cross-section and support of development openings. Sequence of driving development openings. Advance rate of faces. Rate of development headings advance over that of production faces. Order of recovery of mineral reserves in a working section or block. Order of mining sublevels, pillars or slices. Shape and size of working faces. Their interlocation. Advance direction of working faces. Method of stoping. Methods of controlling enclosing rocks ; by support pillars, timbering, filling ( complete, partial ), shrinkage stoping, caving ( spontaneous or induced ), or by different combinations of these methods. Methgrizzly levels ( in ore mining ). Ventilation of development and productive workings. Lighting of mine workings. Measures envisaged by the system of mining against penetration of water and inrushes of water-bearing rocks. Preventive measures against underground fires, as part of the mining method adopted.

III. Mechanisation of Mining Operations

Brief specifications of machines (trade-mark, capacity, ratings of driving motors and overall dimensions) used for drilling holes, undercutting and breaking the mineral or country rock: drilling machines, electric augers, drill-wagons for the underground boring of deep blast-holes and large diameter holes; coal cutters, cutting and loading machines(combines), coal planers, hydraulic giants(in hydraulicking),etc. analogous information on machines and equipment employed for the transportation of the mineral and waste: conveyers, scrapers, loading machines, mine car spotting tugger hoists, district electric locomotives, capacity and overall dimensions of mine cars. Machines and mechanical plants for ventilation and mine drainage(needed for the system of mining).

IV. Organisation of Work

Organisation of operations in the faces of development and productive workings. Graphs (planograms) of cyclic operation and labour distribution charts(number of miners, number engaged in each shift and classes of work performed). Advance rate of faces per cycle or round. Number of cycles or rounds per day and per month. Coordination of all operations for the whole of the producting section( linked with the system of mining ).

V. Techincal and Economic Characteristics of the Mining Method

Mineral output in productive and development workings per day per shift, in individual faces ( walls, stopes ) and in the section as a whole. Monthly tonnage produced by the entire section. ( If, because of features specific to the adopted method, the tonnages tend periodically to very widely, for instance, during shrinkage-stoping and subsequent drawing of the ore, the characteristics above must be given for individual stages of mining ). Yield of the mineral from development and working faces(for the whole of the mining method in per cent). Mining of working losses of the mineral( in per cent ). Degree of dilution (in per cent to the total content of valuable components in undiluted ore). Time required for the recovery of the aggregate reserves in the working section or block. Output per faceman and per miner for the whole of the section (in tons of mineral, or in cu m of ore, or ore and barren rock together per shift). Explosives consumption per ton, or per cu m in grammes. Mine timber consumption per 1,000 tons or 1,000 cu m of the mineral, or the aggregate amount of the mineral and waste. Electric power and compressed air consumption per ton or cu m. mining cost of a ton or cu m of the mineral, or of the mineral and waste together for the whole of the producting section, including delivery to the haulageway.

  1. Classification of Mining Methods

Methods employed for mining solid minerals in deposits may be divided into the following principal groups :

I. Underground mining.

II. Surface mining.

III. Combined mining.

IV. Special methods of mining.

No explanations are needed for singling out methods I and II. One example of method III is mining by glory holes, when the mineral is extracted by the opencast method and loaded into transport vehicles and subsequently hauled in underground workings.

Special methods include those in which actual mining is characterized by changes in the native state of the extracted mineral. They include underground coal gasification, ore-mining by underground leaching, extraction of sulphur through boreholes by evaporation, etc.

As we have seen, the systems used in mining solid minerals by the underground method vary widely and are frequently complex. For a more or less full characterization, one should refer to many of the features enumerated above.

However, the classification of mining methods cannot be founded on all the above-cited, extremely numerous features. Their classification should be based only on the especially important and typicalfeatures, according to which it is advisable to divide and single out the systems of mining.

Most of the hitherto proposed classifications of mining methods were based on methods of controlling enclosing rocks and on the arrangement of development openings.

It is noteworthy in this connection that the division of mining methods into groups according to the arrangement of development openings is generally adopted both for drawing up classifications and for working coal and other sheet deposits, whereas the classifications for the systems applied in mining ore deposits are founded on the second principle-that involving the method of enclosing rock control. This difference in the approach to the characteristic features, on which the classification is based, is by no means accidental or one chosen arbitrarily by the compilers of the classification, but is explained by the fact that for the sheetlike deposits the arrangement of development openings is very typical and at the same time simple and convenient because of their regular shape.

  1. Choice of Mining ethod

The description of the principal methods of mining enumerated the conditions most suitable for each. But since the combinations of diverse factors in enfluencing the selection of a mining method may be extremely variable, this choice for a particular deposit is complicated by its geological features, as well as by the mining and economic situation.

The method selected must meet the basic demands of the conditions in which it is called to operate.

In a very general outline the method of the choice itself boils down to comparing the features of each one of the mining systems which may possibly be employed in actual geological, mining and economic conditions.

Bentang alam Pantai

Bentang alam pantai dikontrol oleh aksi alamiah yang bekerja secara terus menerus. Pada dasarnya dapat dikelompokkan dalam dua macam aksi alamiah yaitu yang bersifat menghancurkan (destruktif) dan yang bersifat membangun dengan cara pengendapan (konstruktif).

Pantai merupakan daerah yang terletak dibagian tepi dari continental (dataran). Yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan model pantai adalah gelombang (wava) dan arus (current), sedangkan gelombang pasang surut (tides) kecil pengaruhnya. Gelombang terbentuk antara lain karena adanya pergerakan angin, besar kecilnya kecepatan angin berpengaruh terhadap besar kecilnya gelombang.

Gempa bumi bawah laut, longsor dasar laut dan letusan gunung api bawah laut dapat menimbulkan gelombang besar yang sangat berpengaruh yang disebut tsunami. Arus berbeda dengan gelombang, arus mempunyai pergerakan menerus sedangkan gelombang tidak. Dalam perkembangan selanjutnya pantai dapat tererosi oleh gelombang dan arus dapat mengalami pelarutan dan korasi.

Daerah pantai yang masih mendapat pengaruh air laut dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :

1. Beach (daerah pantai)

Yaitu daerah yang langsung mendapat pengaruh air laut dan selalu dapat dicapai oleh pasang naik dan pasang turun.

2. Shere line (garis pantai)

Jalur pemisah yang relatif berbentuk baris dan merupakan batas antara daerah yang dicapai air laut dan yang tidak bisa dicapai.

3. Coast (pantai)

Daerah yang berdekatan dengan laut dan masih mendapat pengaruh air laut.

Klasifikasi Pantai

Pantai diklasifikasikan dalam dua kelompok yaitu:

  1. Klasifikasi pantai menurut Jonhson, (1919) berdasarkan genesa terbentuknya pantai.
  2. Klasifikasi pantai menurut Shepard (1948) berdasarkan faktor yang berhubungan dengan pembentukannya dan perbedaan bentuk awal dan bentuk berikutnya.